Recent Posts

Senin, 24 Juni 2013

Menaklukkan Muntilan



Minggu pagi yang membosankan. Aku menggeliat meraih ponselku. Jam baru menunjukkan pukul delapan. Setengah sadar kubuka akun facebook-ku, lalu kututup lagi. Aku sedang malas update status, apalagi membaca status teman-temanku yang rata-rata berisi kemalasan juga. Aku lalu menggeliat lagi, menutup tubuhku dengan selimut rapat-rapat.Ingin sekali aku lelap dan hilang, namun sudah hampir setengah hari aku terpejam. Ah, selaini tu, apalagi yang bisa kukerjakan?
Kemudian pandanganku menangkap sepeda yang tersandar di dinding. Gregah! Seperti mendapat wangsit, kusambar onthelku dan melesat tanpa tujuan.
***
Kakiku mengayuh sepeda onthel seolah punya kehendak sendiri. Seperempat jam kemudian, tiba-tiba saja Candi Ngawen sudah terpampang di hadapanku. Di sana hanya ada satu penjaga yang ketika kusapa, ketus jawabnya. Kulampiaskan kesal dengan update status sebelum melanjutkan perjalanan.
Keringat mengucur deras, sederas kayuhku. Aku semakin naik ke utara. Kulihat beberapa pemuda tengah tongkrong, berkelakar, dan tertawa. Aku terus mengayuh. Sesampai di Jalan Sayangan, aku bermaksud singgah di Perpustakaan Daerah. Ingin sejenak aku memejamkan mata di sana, karena biasanya pengunjung perpustakaan hanyalah hampa. Tenang.
Setelah bosan, sepedaku meluncur lagi. Ke barat, mengikuti arus jalan raya, masih tanpa tujuan. Biar kalau aku dikata gila. Mayoritas pemuda sebayaku memang begini adanya, menganggur semua. Terjebak posmodernisme hingga seakan tak punya teman manusia, mesin semua. Kami terkatung-katung bak sekumpulan mayat hidup. Tak lagi bisa membedakan mana yang maya-nyata. Absurd jadinya.
Sudah hampir 15 kilometer lebih aku bersepeda. Aku akhirnya sampai di Monumen Bambu Runcing dan mampir berteduh. Katanya monumen perjuangan, nyatanya dipenuhi muda-mudi yang asyik berpacaran, dua-duan, kakak-kikukan. Sudah duduk, aku tak tahu lagi hendak berbuat apa.
Oh, Muntilan metropolitan… Kamu sudah banyak berubah. Mau jadi seperti apa kamu nanti? Jadi kapitalis, bar-bar, tidak kenal nilai-nilai? Pasrah saja digerus waktu?Apalagi pemuda-pemudinya letoy semua!
Pandanganku mengawang pada pahlawan-pahlawan di sekitar monumen. Tiba-tiba ada yang merasuk dalam diriku. Aku bangkit. Aku mendadak jadi benar-benar hidup! Monumen dan patung-patung ini diam tak bisa apa-apa, tetapi semangatnya terabadi. Kuyakin bahwa pahlawan adalah kita hari ini. Kita yang harus mengubah segalanya. Ya, kita bersama!
***
Merasa sudah mendapat jawaban, aku pulang dengan perasaan tenang. Aku tidak perlu mengayuh sepeda onthelku karena jalan yang turun dan terjal. Aku bersepeda tanpa memegang kemudi. Kubiarkan angin berkelebat menjamahku.Merasakan betapa bebasnya aku.***

Ahmad Pujianto
Mahasiswa Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga
Buletin PERDU #7

0 komentar:

Posting Komentar