Minggu pagi yang membosankan.
Aku menggeliat meraih ponselku. Jam baru menunjukkan pukul delapan. Setengah sadar kubuka akun facebook-ku, lalu kututup lagi. Aku sedang
malas update status, apalagi membaca
status teman-temanku yang rata-rata berisi kemalasan juga. Aku lalu menggeliat lagi, menutup tubuhku dengan selimut rapat-rapat.Ingin sekali aku
lelap dan hilang, namun sudah hampir setengah hari aku terpejam. Ah, selaini tu, apalagi yang bisa kukerjakan?
Kemudian pandanganku menangkap sepeda yang tersandar di dinding. Gregah! Seperti mendapat wangsit, kusambar onthelku dan melesat tanpa tujuan.
***
Kakiku mengayuh sepeda onthel
seolah
punya kehendak sendiri.
Seperempat jam
kemudian, tiba-tiba saja Candi Ngawen sudah terpampang di hadapanku. Di sana hanya ada satu penjaga yang ketika kusapa, ketus jawabnya.
Kulampiaskan
kesal dengan update status sebelum melanjutkan
perjalanan.
Keringat mengucur deras, sederas kayuhku. Aku semakin naik ke utara. Kulihat
beberapa pemuda tengah tongkrong, berkelakar, dan tertawa. Aku terus mengayuh. Sesampai di
Jalan Sayangan, aku bermaksud singgah di Perpustakaan Daerah. Ingin sejenak aku
memejamkan mata di sana, karena biasanya pengunjung perpustakaan hanyalah hampa.
Tenang.
Setelah bosan,
sepedaku meluncur lagi. Ke
barat, mengikuti arus jalan raya, masih
tanpa tujuan. Biar
kalau aku dikata gila. Mayoritas pemuda sebayaku memang begini adanya, menganggur semua. Terjebak posmodernisme hingga seakan tak
punya teman manusia, mesin semua. Kami terkatung-katung bak sekumpulan mayat
hidup. Tak lagi bisa membedakan mana yang maya-nyata. Absurd
jadinya.
Sudah hampir 15 kilometer lebih aku bersepeda.
Aku akhirnya sampai di Monumen Bambu Runcing
dan mampir berteduh. Katanya monumen perjuangan, nyatanya dipenuhi
muda-mudi yang asyik berpacaran, dua-duan, kakak-kikukan. Sudah duduk,
aku tak tahu lagi hendak berbuat apa.
Oh, Muntilan metropolitan… Kamu sudah banyak berubah. Mau jadi seperti apa kamu
nanti? Jadi kapitalis, bar-bar, tidak kenal nilai-nilai? Pasrah saja digerus waktu?Apalagi
pemuda-pemudinya letoy semua!
Pandanganku mengawang pada
pahlawan-pahlawan di sekitar monumen. Tiba-tiba ada yang merasuk dalam diriku. Aku
bangkit. Aku mendadak jadi benar-benar hidup! Monumen dan
patung-patung ini diam tak bisa apa-apa, tetapi semangatnya terabadi. Kuyakin
bahwa pahlawan adalah kita hari ini. Kita yang harus mengubah segalanya.
Ya, kita bersama!
***
Merasa sudah mendapat jawaban, aku pulang dengan perasaan tenang. Aku tidak
perlu mengayuh sepeda onthelku karena jalan yang turun dan terjal. Aku bersepeda
tanpa memegang kemudi. Kubiarkan angin berkelebat menjamahku.Merasakan
betapa bebasnya aku.***
Ahmad Pujianto
Mahasiswa Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga
Buletin PERDU #7
0 komentar:
Posting Komentar