Langit cerah pagi ini tak mampu membuat hatiku damai.
Pasalnya, perasaan takut sesuatu terjadi pada Ibu menghantuiku. Ibu, yang sudah
hampir dua tahun mengadu nasib ke Negeri Jiran kini tak ada kabar. Kucoba
datangi Dinas Ketenagakerjaan terkait, namun hasilnya tetap nihil. Nomor yang
selama ini membantu kami berkomunikasi pun tak aktif. Akhirnya, kucoba kirimkan
surat ke alamat rumah dimana ibu tinggal.
Pelan-pelan kusampaikan kegundahanku ini pada Ayah.
Beliau hanya diam. Terlihat kesedihan dari raut wajahnya. Ayah, yang selama ini
menggantikan posisi Ibu di rumah, bagiku adalah sosok yang bijak.
Aku sebenarnya terlahir dari keluarga yang mampu dalam
segi ekonomi. Namun, ketika aku duduk di bangku SMA, Ayah mengalami kecelakaan.
Sebagian besar harta Ayah habis untuk biaya rumah sakit. Parahnya, sebelum Ayah
sembuh total, perusahaan beliau gulung tikar. Akhirnya kami pun hidup seadanya.
Ibu, sosok yang cantiknya selalu terpancar, sebenarnya
terlahir dari keluarga kaya. Namun, beliau tak pernah malu dengan kondisi
keluarga kami. Bahkan yang membuatku bangga, Ibu tetap mendampingi Ayah, tak
pernah berkeluh kesah. Hingga suatu hari ketika aku lulus dari bangku SMA, dan
adik bungsuku lulus dari SMP, ibuku benar-benar tak sanggup untuk terus berdiam
diri. Beliau pun meminta izin Ayah untuk bekerja. Beliau hanya berharap agar
aku dan adikku bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang tertinggi.
Tahun pertama kepergian Ibu memang membuat keluargaku
terpuruk. Namun hasilnya, aku bisa melanjutkan kuliah di universitas ternama,
dan adikku bisa tetap bersekolah di sekolah favorit.
Dering suara telepon rumah memaksaku terbangun dari
lamunan. Ah, ini pasti dari rekan Ayah.
”Assalamu’alaikum...”
Aku tak kuasa membendung airmata, terdengar suara dari
seberang terus memanggil. Orang yang mengaku teman Ibu, mengatakan bahwa Ibu
hendak pulang, dan aku diminta untuk bersiap-siap.
***
Malam ini kami hanyut dalam suasana duka. Tangis pun tak
terbendung. Ternyata ibu yang selama ini kami banggakan harus pergi untuk
selamanya tanpa kami ketahui detik-detik kepergiaanya.
Mobil ambulans mengantar jenazah ibu dari Bandara Adi
Sucipto Yogyakarta. Ibu meninggal dunia karena penyakit tumor stadium empat. Rupanya
rumah sakit Elizabeth Kuala Lumpur pun tak mampu menangani penyakit yang ibu
derita.
Ibu, sosok yang menginspirasiku, sosok Kartiniku...,
karena beliau kami tetap melanjutkan pendidika.. Terimakasih Ibu, kami akan
berusaha menjadi anak yang berguna, untukmu, untuk ayah, untuk agama dan negara
tercinta.
Buletin PERDU #6
0 komentar:
Posting Komentar