“Ahh, menyebalkan!” gumamku.
Seharusnyaakubisamenggambarlagi di tamanhariini,
tapitiba-tibasajaada orang yang menempatibangku yang biasaakududuki.
Tadinyaakusudahmemintadenganbaik-baikuntukmemintanyamencaribangkulain,
namundiamalahmenolaknyadengankeras.
“Apa
hakmu mengusirku dari sini!?Bukankah di
siniadapuluhanbangku?Mengapatidakcaribangkulainsaja?”
Denganberathatiakupunmenyerahkanbangkukesayangankuituke
orang lain yang bahkanakutidaktahunamanya.
***
Beberapa hari selanjutnya ia terus berada di bangku itu, ia
selalu sampai lebih dulu dan memaksaku duduk di bangku lain. Membuatkutidakbisanyamanmenggambar, namun
tiba-tibaia menghampiriku.
“Apa bangku itu berarti buatmu
hingga menyebabkanmu sangatmenginginkannya?”
“Bagaimana kau bisa berpikir seperti
itu?”
“Aku tidak secuek yang kamu kira,
aku selalu memperhatikanmu melangkah ke arah bangku itu, namun aku lebih dulu
berada disana.”
Aku
tak menyangka ia begitu, tidak seperti yang terlihat oleh mataku.
“Aku Jhovian.” Ia mengulurkan tangannya.
“Aku...”
“Aurelia, bukan? Aku bisa membaca
namamu dari seragammu.”
“Hmm, iya benar.” gumamku.
“Kamu pandai menggambar rupanya?” ia
memperhatikan gambar yang belum aku selesaikan itu.
“Tidak juga, aku hanya suka
mencurahkan apa yang kulihat dan menorehkannya di atas kertas.”
“Gambarmu benar-benar bagus!” ia
mengambil gambarku dari tanganku.
“Tidak terlalu bagus akhir-akhir
ini.”
“Apa karena kamu tak lagi menggambar
di bangku itu?”
Aku
kaget mendengar pertanyaannya, aku tidak menyangka ia berpikir sejauh itu.
“Maaf jika aku merebut bangkumu.
Sejujurnya aku juga suka menggambar, memang beberapa orang mempunyai tempat
spesial untuk menggambar. Dan akupun juga merasa nyaman di situ.”
Ia terus memandangku.
“Baiklah, kamu boleh kembali ke bangku
itu tapi dengan satu syarat.”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Apa syaratnya?”
“Adikku sedang sakit, ia memintaku
menggambar wajahnya sebagai hadiah ulang tahunnya dua hari lagi. Namun aku
hanya mampu menggambar melalui corel draw,
sedangkan aku merasa tidakpuas dan tidak mampu jika aku menggambar di atas
kertas. Jadi, maukah kau menggambar wajah adikku untukku?”
Tampak
raut mukanya mulai mendung, matanya sayu.
“Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu.”
“Terimakasih. Ini fotonya adikku. Dia seumuran denganmu.
Bisakah kamu menyelesaikannya dalam dua hari?”
“Tentu saja”
“Oke, aku akan menemui lagi. Disini di jam yang sama.”
“Baiklah, aku tunggu”
“Sampai jumpa”
Ia
pergi begitu saja dari hadapanku, menghilang di penghujung jalan.
***
Keesokan
harinya aku mulai menggambar wajah adiknya,
wajah yang sangatcantikmenurutku. Seperti yang dijanjikan,
aku kembali lagi ke bangkuku semula. Namun ia tidak terlihat datang ke taman.
“Ahh,
mungkin ia sedang menemani adiknya.” Pikirku.
Aku menyelesaikan gambar itu tepat pada waktunya. Akudatang ke taman itu seperti yang telah di janjikansebelumnya.
Selang satu jam, dua jam aku menunggunya, ia tak kunjung datang. Aku mulai
resah.
“Dimana dia sekarang? Apa ia lupa?”
Sambilmenunggu
aku mengambilfotoadiknyadaritasku.
Namun aku terheran-heran ketika menemukan sebuah tulisan di balik foto itu.
Bahkan aku baru tahu jika ada tulisan di situ, membuatku tertarik untuk
membacanya.
“Terimakasih,
kamu sudah bersedia menggambar wajah adikku untukku. Namun, jika ternyata dua
hari lagi aku tak datang menemuimu, mungkin...”
Dan
tiba-tiba, pipikupun terasa basah.
Buletin PERDU #5
0 komentar:
Posting Komentar