Recent Posts

Senin, 24 Juni 2013

Mulai dari Awal


Alloh datang lagi tatkala aku berlari menuju mushola sekolah.
Waktu itu mendung mengembun, berikut rintik-rintik hujan yang turun perlahan. Sekolah hening karena masih pelajaran jam kedua. Sesekali gelak tawa mendadak mengawang, lalu mendadak sirna. Tergantung: apakah gurunya sedang bersemangat melawak atau tidak.
Aku berlari melepas segala yang menyesakkan. Sampai mushola, kudapati jebol sudah sepatuku! Serta merta hiperbolaku kambuh, kemudian ganti muncul masa bodohku.  “Tinggal minta uang ke orang tua buat beli sepatu: selesai!”Padahal sebenarnya kejadian kali itu penting sekali. Ada tabir yang kututup-tutupi.
Sejak kanak-kanak, menulis sudah menjadi hobiku. Menuliskuuntuk mengenal lingkungan, maka kutulis semua yang kukenal. Mulai dari ayah-ibuku, sepedaku, bahkan ayam-ayamku. Akan tetapi hobi itu patah oleh sebuah media massa. Tulisanku terpampang di sana namun aku tidak mendapat honor. Dibumbui rasa kecewa, nalarku menangkap: menulis itu percuma dan sia-sia..
Sempat aku juga berpikir menjadi penulis itu tidak ada bedanya dengan buruh. Begitu tulisan terbit, lalu mendapat royalti. Sebatas itu. Matre sekali orang yang hobinya menulis... Pun menulis sangat berbahaya! Menjadikan lahir tulisan-tulisan sampah, tulisan-tulisan ra nggenah, yang SARA, yang kasar, penuh dengan kata-kata kotor, pornografi, dan tulisan tidak berbudaya lain.
Itulah mengapa sudah lama aku meninggalkannya.
Meskipun kemudian, lambat laun, selaras dengan berkembangnya pengetahuanku, aku menyadari bahwa penulis itu sebanding dengan kiai: mulia sekali. Penulis menyalurkan ide, gagasan, harapan, imajinasi, dan berbagi amanah kepada sesama.Babagan perubahan, perbaikan keadaan, dan pembangunan peradaban sangatlah pas kalau disalurkan dengan cara menulis. Negara ini membutuhkan banyak penulis idealis, yang menulis dengan hati, yang peka.
Ah, tapi kan kini aku sendiri sudah tumpul. Otot-otot tanganku sudah kaku. Aku tidak lihai lagi menulis. Aku cuma penyair usang. Sudah mandul. Bahkan tubuhku gemetaran begitu melihat kertas dan bolpen.Astaghfirullohal adzim.
Kini sepatuku yang sudah njeplak ini seperti memaksaku menulis. Menulis yang bagus pastinya. Selain niat utama untuk berbagi amanah kepada sesama, honor dari menulis bisa untuk membeli sepatu baru tanpa menodong orang tua.
Bel istirahat berbunyi. Segera aku turun dari mushola dan berlari sembunyi-sembunyi masuk kelas. Lalu bukan karena unsur keterpaksaan lagi kalau aku kemudian angkat bolpen dan meraih kertasku. Bagai mendapat energi tambahan kalau menulis untuk kebaikan. Pun aku tidak takut lagi sebab menulis merupakan kegiatan yang heroik!
Maka, Aku ingin segera menulis lagi. Menulis dari awal. Mulai dari kenapa aku mau menulis lagi, termasuk kenapa aku sampai di sini. Ehm, mulai dari pagi ini saja; ketika Alloh datang lagi tatkala aku berlari menuju mushola sekolah.***


Buletin PERDU #5

0 komentar:

Posting Komentar