Alloh datang lagi tatkala aku berlari menuju mushola
sekolah.
Waktu itu mendung
mengembun, berikut rintik-rintik hujan yang turun perlahan. Sekolah hening
karena masih pelajaran jam kedua. Sesekali gelak tawa mendadak mengawang, lalu mendadak
sirna. Tergantung: apakah gurunya sedang bersemangat melawak atau tidak.
Aku berlari melepas segala
yang menyesakkan. Sampai mushola, kudapati jebol sudah sepatuku! Serta merta hiperbolaku
kambuh, kemudian ganti muncul masa bodohku. “Tinggal minta uang ke orang tua buat beli sepatu: selesai!”Padahal sebenarnya
kejadian kali itu penting sekali. Ada tabir yang kututup-tutupi.
Sejak kanak-kanak, menulis
sudah menjadi hobiku. Menuliskuuntuk mengenal lingkungan, maka kutulis semua
yang kukenal. Mulai dari ayah-ibuku, sepedaku, bahkan ayam-ayamku. Akan tetapi
hobi itu patah oleh sebuah media massa. Tulisanku terpampang di sana namun aku
tidak mendapat honor. Dibumbui rasa kecewa, nalarku menangkap: menulis itu
percuma dan sia-sia..
Sempat aku juga berpikir
menjadi penulis itu tidak ada bedanya dengan buruh. Begitu tulisan terbit, lalu
mendapat royalti. Sebatas itu. Matre
sekali orang yang hobinya menulis... Pun menulis sangat berbahaya!
Menjadikan lahir tulisan-tulisan sampah, tulisan-tulisan ra nggenah, yang SARA, yang kasar, penuh dengan kata-kata kotor,
pornografi, dan tulisan tidak berbudaya lain.
Itulah mengapa sudah lama
aku meninggalkannya.
Meskipun kemudian, lambat
laun, selaras dengan berkembangnya pengetahuanku, aku menyadari bahwa penulis
itu sebanding dengan kiai: mulia sekali. Penulis menyalurkan ide, gagasan,
harapan, imajinasi, dan berbagi amanah kepada sesama.Babagan perubahan,
perbaikan keadaan, dan pembangunan peradaban sangatlah pas kalau disalurkan
dengan cara menulis. Negara ini membutuhkan banyak penulis idealis, yang menulis
dengan hati, yang peka.
Ah, tapi kan kini aku sendiri
sudah tumpul. Otot-otot tanganku sudah kaku. Aku tidak lihai lagi menulis. Aku
cuma penyair usang. Sudah mandul. Bahkan tubuhku gemetaran begitu melihat
kertas dan bolpen.Astaghfirullohal adzim.
Kini sepatuku yang sudah njeplak ini seperti memaksaku menulis.
Menulis yang bagus pastinya. Selain niat utama untuk berbagi amanah kepada
sesama, honor dari menulis bisa untuk membeli sepatu baru tanpa menodong orang
tua.
Bel istirahat berbunyi.
Segera aku turun dari mushola dan berlari sembunyi-sembunyi masuk kelas. Lalu bukan
karena unsur keterpaksaan lagi kalau aku kemudian angkat bolpen dan meraih
kertasku. Bagai mendapat energi tambahan kalau menulis untuk kebaikan. Pun
aku tidak takut lagi sebab menulis merupakan kegiatan yang heroik!
Maka, Aku ingin segera
menulis lagi. Menulis dari awal. Mulai dari kenapa aku mau menulis lagi, termasuk
kenapa aku sampai di sini. Ehm, mulai
dari pagi ini saja; ketika Alloh datang lagi tatkala aku berlari menuju mushola
sekolah.***
Buletin PERDU #5
0 komentar:
Posting Komentar