Semenjak era reformasi berdiri, kebebasan berpendapat
tiap individu semakin luas. Tidak hanya permasalahan mengenai hak asasi manusia
atau kebebasan pers yang populer dalam reformasi, namun istilah persamaan
derajat kaum wanita atau yang biasa disebut dengan penyetaraan gender semakin
marak dibicarakan. Seakan nama ini menjadi hal yang paling up to date di zaman sekarang.
Penyetaraan
gender ini semakin didukung oleh adanya sejarah yang bercerita tentang
perjuangan seorang wanita atas haknya, yaitu ibu sekaligus pahlawan nasional
kita, Raden Ajeng Kartini, yang pada bulan ini beliau dilahirkan. Namun secara
tidak sengaja banyak kaum wanita yang salah kaprah dalam memaknai emansipasi wanita yang telah diperjuangkan oleh
beliau. Tentu kita mengetahui bahwa pada zaman dahulu kaum wanita tidak
diperbolehkan menikmati pendidikan dan hanya mengurus pekerjaan rumah saja.
Namun R.A. Kartini berkontradiksi dengan tradisi tersebut dan mulai
memperjuangkan haknya sebagai seseorang
yang ingin mengenyam pendidikan. Beliau pun akhirnya menjadi agen
mobilitas sosial vertikal bagi para kaumnya dan dikenang sepanjang masa.
Di
sinilah yang mungkin perlu diperhatikan bahwa beliau memperjuangkan haknya
sebagai manusia yang layak mendapat pendidikan karena memang harus mencari
ilmu, bukan meminta untuk disetarakan derajatnya dengan kaum laki-laki. Wanita
memang perlu mendapatkan pendidikan agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,
namun tidak seyogyanya wanita memanfaatkan mobilitas ini untuk menuruti
kehendaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan wanita mempunyai tempat yang
spesial dalam tata kehidupan masyarakat. Wanita mempunyai batas–batas tertentu
yang tidak boleh dilanggar, seperti tata berpakaian, tata kesopanan, dan juga
tata kesusilaan yang tentunya tidak sama dengan kaum laki-laki. Wanita pun juga
mempunyai fitrah untuk berperilaku lemah lembut dan berhati mulia sesuai dengan
norma dan nilai yang ada.
Contoh
kasus-kasus yang ada seperti kekerasan dalam rumah tangga, pengeksploitasian
wanita dan pornografi-pornoaksi yang saat ini marak terjadi lebih kurang
disebabkan oleh kesalahpahaman dalam mengartikan kebebasan berpendapat dan
kesetaraan derajat antara wanita dan pria. Pandangan yang salah tersebut
kemudian bisa menjadi ideologi yang tidak dapat dibenarkan. Inilah yang perlu
dipahami dan diwaspadai oleh kaum wanita agar mobilitas yang terjadi tidak
mengubah citra wanita sebagai seorang yang ”wani
ing tata” dan berhati mulia.
Buletin PERDU #6
0 komentar:
Posting Komentar