Dulu, tak ada yang lebih kurindukan
selain hujan di senja Bulan Juni. Seingatku, dulu jarang sekali hujan turun
pada bulan keenam ini. Sampai-sampai penyair kawakan negeri ini mengisahkannya
dalam sebuah puisi:
Tak ada yang lebih tabah daripada hujan Bulan
Juni...
Mungkin
pengaruh perubahan iklim, seperti yang selama ini disangkakan para ahli. Meski
kadang aku pikir, Tuhan menggeser hujan ke Bulan Juni untuk menjawab doa-doa
yang selalu kulayangkan pada senja.
Ah, sudahlah.
Bukankah rindu seorang gadis saja tak mungkin bisa memaksa alam berubah?
Dulu pernah aku
pikirkan, jauh lebih mudah andai saja aku bisa jadi Gumiho, rubah berekor
sembilan di legenda China Kuno yang bisa mendatangkan hujan hanya dengan
tangisnya. Namun aku tak bisa, makanya aku hanya mengundang hujan lewat do’a.
Ah, bukankah kata Pak Ustad, memang hanya lewat sana kita bisa meminta? Lalu
entah bagaimana senja di Juni tahun ini seringkali menurunkan hujan, hingga aku
mulai nyaris bosan. Karena ternyata yang kutunggu tak lantas datang bersama
hujan.
Sempat kukira
pria tua itu akan muncul lagi di depan surau, jika hujan turun selesai aku
mengaji. Kupikir dia akan menungguku keluar dengan dua payung di tangannya.
Namun bahkan meski sudah habis orang pulang selepas jamaah isya’, dia tak juga
datang.
Ya, aku memang
sedang menipu diriku sendiri. Karena aku tahu tak akan mudah merindukan
seseorang yang sudah tidak ada, aku lalu melepaskan kerinduanku pada pertemuan
terakhirku dengannya. Aku sedang merindukan pria tua di bawah payung itu,
alih-alih benar-benar menginginkan hujan.
Apa tempat pria
tua itu bekerja tak lagi meliburkannya di Bulan Juni, sehingga lama sudah dia
tak pulang ke rumah? Dia mungkin lupa kalau hanya keras kepalanya saja yang
bisa membuat keras kepala anak gadisnya berhenti. Untuk tidak bermain hujan,
untuk tidak keluar malam.
Aku kalah, Tuhan.
Lalu aku biarkan
tubuhku kuyup dibasahi hujan. Menikmati rindu yang sekian lama sudah kupendam.
Mungkin aku
harus mulai terbiasa membawa payungku sendiri jika hujan turun lagi lain
kali...
Dekanat,
Juni 2013
Dien Ihsani
waww
BalasHapus